Antropologi Toleransi

Dari Al Zaytun Ensiklopedi Toleransi & Perdamaian

ANTROPOLOGI TOLERANSI

Toleransi berhubungan dengan pikiran, perasaan, sikap, tindakan, perilaku yang menghargai dan menghormati perbedaan antar manusia dan antar kelompok. Adapun perbedaan yang sering memicu sikap intoleran itu sering berkaitan dengan adanya perbedaan suku (etnis), agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Dengan demikian, isu toleransi ini sangat relevan dengan bidang kajian ilmu antropologi. Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan yang mengkaji lima masalah utama yaitu sebagai berikut[i]

  1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia secara biologis, termasuk studi tentang evolusi mahluk manusia.
  2. Masalah sejarah terjadinya anekawarna mahluk manusia (ras) dari ciri-ciri fisiknya.
  3. Masalah sejarah, asal usul, perkembangan dan penyebaran anekawarna bahasa manusia di dunia
  4. Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya anekawarna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
  5. Masalah mengenai azas-azas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang ada di seluruh dunia pada masa sekarang.

Toleransi dan Rasisme

Antropologi mengkaji masalah ras-ras manusia dan perilaku budayanya. Hal itu menjadikan ilmu ini relevan mengkaji masalah-masalah toleransi berkaitan dengan ras atau rasisme. Di berbagai belahan dunia, konflik rasis masih terus terjadi. Sebagai contoh adalah politik “apartheid” yang pernah berkembang di Afrika Selatan pada awal abad ke-20. Politik “apartheid” merupakan pembedaan hukum berbasis warna kulit dalam hal mana ras kulit putih memiliki status tertinggi, diikuti ras India, dan ras kulit hitam Afrika berada di strata paling bawah.[ii] Kata “apartheid” itu sendiri diambil dari bahasa Afrika yaitu “apart” (memisah) dan “heid” (sistem atau hukum).

Politik “apartheid” di Afrika Selatan itu terkait erat dengan masalah hubungan antar suku bangsa dan kebudayaannya. Hal itu berkaitan dengan sejarah bangsa Boer (Belanda) yang pada abad ke-17 menjajah Afrika Selatan dan pada abad ke-18 mempraktikkan perbudakan terhadap seluruh “khoikhoi” (suku aseli Afrika Selatan).[iii] Artinya masalah rasisme bukan hanya merupakan masalah terkait perbedaan ras, tetapi juga terkait dengan sentimen kesukuan, etnosentrisme, dan konflik etnis yang menjadi minat kajian antropologi.

Toleransi dan Bahasa

Salah satu cabang antropologi adalah etnolinguistik, mempelajari manusia, kebudayaan, dan bahasanya. Bahasa bisa mempersatukan, mendamaikan, namun bisa juga menebar kebencian, memprovokasi, dan memecah belah. Di dalam “budaya digital” sekarang ini, bahasa sangat berpengaruh mulai dari masalah berita bohong (hoaks) hingga ujaran kebencian, perundungan (cyber bullying), dan cyber terorrism.

Menurut perspektif aliran Antropologi Kognitif, bahasa merupakan bahan mentah kebudayaan atau dngan kata kata lain “bahasa mendahului kebudayaan”.[iv] Dalam mazhab Antropologi Kognitif, kebudayaan dipahami sebagai ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan-pandangan, keyakinan-keyakinan yang memedomani masyarakat untuk berperilaku tertentu dan menciptakan benda-benda tertentu. Dengan demikian kebudayaan berada di ranah kognitif masyarakat dan karena berupa sistem pikiran-pikiran maka faktor bahasa menjadi sangat penting. Bahasa – kata-kata, istilah-istilah, kalimat-kalimat, ungkapan, peribahasa, dan sebagainya – membentuk struktur-struktur pemikiran tertentu.

Niels Mulder dalam bukunya “Pribadi dan Masyarakat di Jawa” (1985) menjelaskan fenomena bahasa sebagai pembentuk kebudayaan ini. Orang Jawa mempunyai banyak sekali kata, istilah, ungkapan, peribahasa, dan sebagainya sebagai pedoman perilakunya. Misalnya kata “andhap asor” yang merupakan konsep pentingnya kerendahan hati di dalam bergaul dengan sesama. Ada kata “ngajeni” yang merupakan konsep pentingnya menghormati orang lain. Ada pula kata “tepa selira” yang merupakan konsep tentang tenggang rasa, toleransi, empati, dan kepedulian terhadpa orang lain.

Toleransi dan Hubungan antar Suku Bangsa

Antropologi sangat berminat pada pengkajian suku-suku bangsa (kelompok-kelompok etnis) dan hubungan-hubungan di antaranya. Fase awal antropologi pada sebelum tahun 1.800-an, perkembangan ilmu ini dimulai dari semangat mengumpulkan data tentang bangsa-bangsa (etnografi) yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa (pelaut, petualang, pedagang, penyiar agama) yang menjelajah ke kawasan Asia dan Afrika.[v] Dari data-data etnografi itulah kemudian analisa-analisa dan kajian-kajian berkembang dan akhirnya muncul banyak teori tentang kebudayaan, sampai akhirnya jadilah ilmu antropologi.

Artinya, sejak awal perkembangannya, suku-suku bangsa menjadi salah satu perhatian utama antropologi. Masalah relasi dan komflik antar etnis juga menjadi kajian-kajian penting.

Pada masa sekarang, konflik antar etnis masih sering terjadi. Modernitas dan globalisasi tidak berarti menghilangkan eksistensi kelompok-kelompok etnis. Bahkan semangat “multikulturalisme” yang terus berkembang menjadikan suku-suku bangsa di seluruh dunia semakin eksis. Di Indonesia, kelompok-kelompok etnis terus eksis dan konflik antar etnis masih sering terjadi. Berikut ini adalah beberapa kasus konflik antar etnis di Indonesia dalam 25 tahun terakhir yang dipicu oleh berbagai faktor:[vi]

  • Konflik etnis di Yahukimo, Papua. Knflik terjadi karena perebutan kursi kekuasaan di birokrasi pemerintahan oleh orang-orang dari suku-suku tertentu. Penguasaan birokrasi dari suku tertentu memicu perlawanan dari suku lain.
  • Konflik Sampit pada tahun 2002 antara suku Dayak dengan suku Madura. Konflik disebabkan karena pertumbuhan populasi migran Madura yang memicu kecemburuan dan persaingan ekonomi penduduk pribumi.
  • Penindasan terhadap etnis Tionghoa pada tragedi kerusuhan tahun 1998, terjadi di Jakarta, Medan, Palembang, Surakarta, dan Surabaya. Konflik dipicu oleh sentimen etnis yang dilandasi diskriminasi “pribumi vs non-pribumi”.
  • Perang antar suku di Wamena, Papua pada 2022. Konflik melibatkan suku Nduga dan suku Lani Jaya di Kampung Wouma.

Toleransi dan Agama

Masalah agama atau sistem kepercayaan yang sangat beragam telah lama menjadi perhatian ilmu antropologi. Bahkan setiap suku (kelompok etnik) memiliki sistem kepercayaannya sendiri. Karena itu keberagaman sistem kepercayaan di Indonesia, apalagi dunia, sejatinya jauh lebih kompleks dengan adanya berbagai-bagai sistem kepercayaan.

Sisten kepercayaan termasuk agama menurut perspektif antropologi berpotensi menjadi kelompok yang eksklusif dan intoleran karena memiliki unsur-unsur sebagai berikut.[vii]

  1. Sistem keyakinan yang bukan sekedar sistem pengetahuan tetapi prinsip-prinsip sakral yang dianggap absolut, yang bisa dimaknai sebagai kewajiban mutlak. Jika sistem keyakinannya berupa nilai-nilai dan ajaran yang intoleran maka hal ini memicu perilaku intoleran.
  2. Sistem upacara/ritual. Ini juga bersifat sakral dan berbasis pada sistem keyakinan-keyakinan yang seringkali tidak bisa dikompromi. Ini yang menjadi masalah, sebab terkadang ada tindakan yang menurut moral umum dianggap intoleran namun menurut keyakinan itu adalah bagian dari “ibadah”.
  3. Kelompok keagamaan. Sikap dan perilaku kelompok keagamaan dipengaruhi oleh sisem keyakinan dan sistem upacara, dan juga oleh kepemimpinan pemimpinnya.
  4. Emosi keagamaan sebagai titik pusat. Ketiga unsur itu membentuk “emosi keagamaan” yang terkadang tidak bisa dikendalikan oleh pikiran-pikiran logis.

Menurut antropolog Clifford Geertz, agama merupakan (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.[viii]

Dari definisi itu kita bisa memahami mengapa orang beragama bisa menjadi fanatik dan bahkan berjiwa dan bersikap radikal. Mereka bukan hanya memiliki sistem keyakinan, tetapi dikuasai oleh suasana hati dan motivasi yang kuat, dan mereka menganggap apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan serta dilakukannya itu sebagai hal yang realistis. Geertz juga mengatakan bahwa suasana hati dan motivasi itu bisa bertahan lama, bahkan sampai orang yang bersangkutan meninggal dunia.

Toleransi dan Hukum

Antropologi mempelajari norma-norma budaya, adat istiadat, dan yang di dalam modernitas menjadi hukum. Menurut perspektif antropologi, dibandingkan dengan norma dan adat, hukum memiliki beberapa atribut (atribute of law) sebagai berikut[ix]

  1. Hukum memiliki atribute of authority. Aktivitas-aktivitas kebudayaan disebut sebagai hukum bilamana ada keputusan-keputusan yang diambil melalui mekanisme yang diberi wewenang atau kekuasaan oleh masyarakat. Jadi ada pihak penguasa yang diberi otoritas oleh masyarakat. Misalnya, pemerintah negara yang mengambil keputusan-keputusan dalam konflik antar suku.
  2. Hukum memiliki atribute intention of universal application. Keputusan-keputusan hukum itu berlaku jangka panjang, tidak bersifat sesaat atau insidentil saja.
  3. Hukum memiliki atribute of obligation. Keputusan-keputusan itu mengandung pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antar pihak-pihak.
  4. Hukum memiliki atribute of sanction. Ada sistem dan mekanisme sanksi yang diberlakukan.

Masalah konflik antar etnis dan antar kelompok agama sangat memerlukan pendekatan antropologi hukum. Sebab, di satu sisi mereka masing-masing mempunyai norma, adat, dan kebiasaan sendiri-sendiri. Namun dalam sebuah perjanjian damai misalnya, sangat dibutuhkan peran penguasa (pemerintah) yang berotoritas, dibutuhkan pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajian antar pihak-pihak, dan penerapan mekanisme sanksi. Sementara itu kehadiran penguasa (negara, pemerintah) tanpa pendekatan budaya akan dirasa menjadi sebuah pemaksaan dan hegemoni sehigga ditolak masyarakat.

Toleransi dan Kebangkitan Kebudayaan

Pendekatan antropologi dalam isu-isu toleransi diperlukan di era globalisasi sekarang ini. John Naisbitt (1990) menemukan fakta bahwa di tengah maraknya tren budaya global dan imperialisme serta hegemoni budaya Barat yang mengglobal, terjadi “counter trend” berupa “nasioanlsie kultural” berupa kebangkitan eksklusivitas etnis-etnis yang melawan tren global itu.[x] Sebagai contoh adalah:

  • Kebangkitan budaya orang Wales, ditandai dengan gerakan revitalisasi bahasa aseli mereka, Cymric.
  • Kebangkitan orang Quebec di Provinsi Quebec di Kanada. Gerakan revitalisasi budaya mereka ditandai dengan kebangkitan bahasa Perancis. Mereka bahkan bersikap intoleran dengan penduduk di provinsi itu yang berbasa Inggris. Pada tahun 1990-an, ratusan ribu penduduk termasuk 14.000 eksekutif perusahaan senior dan semua orang yang berbahasa Inggris meninggalkan provinsi itu. Sikap intoleran terhadap bahasa Inggris dan bahasa lain mereka nyatakan dengan membentuk “Polisi Bahasa”.
  • Kebangkitan budaya Catalonia di Spanyol. Mereka tidak mau menggunakan bahasa Spanish yang merupakan bahasa resmi di Spanyol.

Globaliasi tidak membawa penduduk dunia menjadi berbudaya sama dan seragam. Multikulturalisme bertumbuh subuh karena hak asasi manusia semakin ditegakkan, demokrasi semakin menguat, dan keberagaman menjadi visi bersama.

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Naisbitt, John dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an. Jakarta: Binarupa Aksara.

Syam, Nur. 2007. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.

Rujukan


[i] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta (1990: 12)

[ii] www.kompas.com“Latar Belakang Munculnya Masalah Apartheid” (19/01/2022)

[iii] www.kompas.com “Latar Belakang Munculnya Masalah Apartheid” (19/01/2022)

[iv] Nur Syam. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS (2007:53)

[v] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta (1990: 1)

[vi] Indira Lintang. “6 Konflik Antar Suku di Indonesia yang Dipicu Hoaks hingga Ekonomi”. (www.inilah.com, 27/07/2023).

[vii] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat (1985:274)

[viii] Clifford Geertz. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius (1992: 5)

[ix] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta (1990:201-202)

[x] John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an. Jakarta: Binarupa Aksara (1990: 131).